Please leave a comment

Friday, March 30, 2012

ANALISIS PERMASALAHAN, EKSTERNALITAS, DAN RELOKASI PASAR TRADISIONAL: Studi Kasus Pasar Dinoyo Kota Malang


Pasar merupakan tempat aktivitas jual beli, dimana penjual menawarkan barang dagangan dan pembeli membeli barang tapi ternyata pasar juga merupakan salah satu ruang publik yang berfungsi sebagai perekat sosial dan proses distribusi informasi antara satu orang dan orang lainnya. Pasar yang dimaksud kan disini merupakan pasar tradisional memberikan kesempatan bagi sebagian masyarakat terutama dari golongan menengah kebawah memiliki ruang publik karena didalamnya terdapat interaksi sosial antara pedagang di pasar dan masyarakat sekitar sehingga menjadikan pasar sebagai ruang berbagi informasi bagi individu di dalamnya.
Pasar dinoyo merupakan salah satu pasar tradisional di Malang yang mempunyai keterkaitan sejarah dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Malang. Masyarakat yang tinggal di sekitar Dinoyo lebih memanfaatkan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga bisa dikatakan pasar dinoyo merupakan bagian penting minimal secara ekonomi bagi masyarakat dinoyo.
Banyak literatur menyatakan dalam pasar tradisional terdapat interaksi sosial beragam dari individu yang berkecimpung di dalamnya, baik dari masyarakat sekitar maupun dari pedagang pasar sendiri. Ikatan sosial yang terbangun dari intensitas pertemuan di pasar kemudian berubah menjadi struktur yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dinoyo. Praktik sosial di pasar dinoyo yang dilakukan berulang misalnya terdapat warga yang tiap harinya membeli sayur di pasar dinoyo dan memiliki wlijo langganan maka kemungkinan yang bisa terjadi individu tersebut selain ke pasar untuk memenuhi keperluan dapur juga untuk bertemu dengan pedagang langganan untuk berkomunikasi dan bertukar informasi.
Kondisi saat ini telah beredar wacana penggusuran pasar dinoyo dan akan digantikan sebuah atau mall. Permasalah disini adalah kalimat “modernisasi pasar yang membentuk pasar modern” dimana pasar dinoyo dianggap sangat kumuh dan tidak memiliki sisi estetika sama sekali, padahal sekali lagi pasar dinoyo merupakan ruang yang tidak hanya berfungsi sebagai penjual menjual barangnya dan pembeli membeli barang kebutuhan melainkan definisi sosial dari pasar merupakan interaksi sosial tiap individu di ruang publik. Sialnya, pihak pemerintah telah menjadi komprador kapitalisme sehingga melakukan perubahan pasar tanpa komtemplasi sosial, mengenai dampak sosial yang terjadi dengan adanya mall.
Dengan membaca analog kejadian tersebut sebenarnya bisa diartikan terdapat paksaan mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang pantas dan tidak pantas bagi masyarakat bahwa agresi keberadaan Pasar Modern atau mall lebih baik dari pada pasar tradisional dengan rasionalisasi mall telah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat.

Pasar Tradisional vs. Pasar Modern
Pasar tradisional di kota memang tidak sebanding nilai investasinya jika dibanding dengan pasar modern. Profit sharing antara investor dan pemerintah kota pada pasar modern akan menjanjikan devisa bagi pemerintah. Dalam skala perhitungan pertumbuhan ekonomi, kehadiran pasar modern seperti mall membawa peningkatan nilai tambah ekonomi secara riil bagi politik ekonomi lokal. Namun demikian, perpindahan itu telah menggerus aktifitas ekonomi masyarakat lokal.
Peruntungan pasar tradisional, jika dihitung dengan nalar investasi tidak sebanding dengan mall. Sehingga, kekuasaan politik setingkat Walikota, tidak bisa mengambil untung dari aktifitas pasar tradisional kecuali retribusi yang dihitung secara ekonomis begitu kecil dan tidak berdampak pada peningkatan devisa pemerintah daerah. Namun demikian, gerak pasar tradisional menyumbangkan kemerdekaan ekonomi rakyat dan keadilan akses atas aktifitas ekonomi warga. Kegiatan pasar tradisional mencerminkan hak-hak warga terakomodasi dan menjadi media pertumbuhan ekonomi yang merata. Pasar tradisional dengan demikian memberi efek ekonomi horisontal bersifat citizenship ketimbang kapitalistik.
Jadi pasar tradisional menjadi musuh kapitalisme. Hari ini, jejak-jejak permusuhan itu sudah berjalan dalam berbagai bentuk. Renovasi menuju pembentukan pasar modern merupakan babak baru perselingkuhan politik dengan kapitalisme yang menggerus sosialisme ekonomi pada pasar tradisional. Begitulah jejak kapitalisme dijangkarkan diantara titik tengkar warga.
Pasar tradisional adalah bisnis politik kekuasaan. Renovasi adalah media untuk mengambil alih hak dan kuasa kapitalisme atas hak-hak warga yang mayoritas pedagang-pedagang kecil. Siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan, tentu saja yang diuntungkan secara instan adalah orang-orang pemilik jasa yang berselingkuh bersama pemilik modal. Yang jelas, pemilik modal sudah menghitung untung. Yang dirugikan adalah nasib pedagang-pedagang di pasar tradisional tersebut. Mereka jelas tidak bisa dipaksa dengan instan untuk menyesuaikan dengan metode ekonomi yang termodernisasi.
Memang dalam perspektif ekonomi modern, pasar modern adalah salah satu piranti ataupun simbol pembangunan ekonomi, dimana tenaga kerja, pajak disemaikan secara intens pada pasar modern. Namun Kalau dianalisis dengan Teori Konflik borok-borok dari pasar modern akan dapat dihidangkan. Ini berpangkal dari pertanyaan, Siapa yang mengkonstruksi untuk apa Mengkonstruksi dan siapa yang Diuntungkan dalam siklus pasar modern. Bertitik tolak dari teori Konflik, Dahrendorf mendeskripsikan hanya ada dua golongan dalam analisis konflik, yaitu orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai. Kalau dihubungkan dengan pasar Modern, maka orang yang berkuasa adalah pemilik Modal (pedagang), sedangkan orang yang dikuasai adalah konsumen, pedagang dalam prakteknya adalah orang yang diutungkan dari proses permainan yang dioperasionalkan pada pasar modern.

Modernisasi Pasar
Jikalau yang diperlukan modernisasi pasar tradisional, tidak seharusnya renovasi pasar Dinoyo digeser menjadi pasar modern sejenis mall. Ketika modernisasi menggunakan paradigma mall, niscaya akan memunculkan friksi kebudayaan karena sistem kerja dan dinamika ekonomi pasar tradisional memiliki kualitas yang berbeda dengan sistem ekonomi yang berkembang pada pasar-pasar modern berbasis mall. Friksi ini akhirnya mengeras menjadi konflik antarwarga dengan pemerintah karena perspektif pengembangan pasar tradisional hanya didikte melalui paham kapitalisme.
Jika yang diperlukan adalah modernisasi pasar tradisional, maka yang dibutuhkan adalah reorganisasi dan pembaruan tata-kelola pasar tradisional yang mengedepankan partisipasi pelaku pasar tradisional secara maksimal. Dengan demikian modernisasi merupakan proses mendorong perubahan sosial ekonomi warga, memberdayakan mereka dan memberikan para pedagang pasar ini untuk menentukan transformasi modernisasi pasar berdasarkan kekuatan imajinasi dan menginternalisasi pembentukan kebudayaan pada setiap aktifitas perubahan pasar.
Pendekatan ini meniscayakan sebuah praktik kebudayaan dalam mengembangkan pasar tradisional di wilayah perkotaan menuju pergeseran paradigma tata-kelola pasar tradisional agar lebih maju, meningkatkan produktifitas, dan menjawab kebutuhan warga untuk ikut serta berpartisipasi dalam memajukan ekonomi bangsa.
Modernisasi pasar, tidak berarti mall. Modernisasi adalah pergeseran dan perubahan perilaku karena ingin meningkatkan kualitas kehidupan. Jika pasar tradisional adalah bagian dari kehidupan ekonomi, maka perspektif kehidupan menjadi modus bagi pembangunan pasar tradisional. Suatu contoh, jika sanitasi pasar tradisional sudah buruk, secara kesehatan akan mengancam fungsi hidup ekosistem bumi dan manusia, maka di situlah yang diperbarui sanitasinya sembari memberikan penyadaran lingkungan kepada pedagang pasar. Jika kebersihan menjadi bagian dari proses kesehatan pasar, maka aspek pedagangnya yang dimodifikasi perilakunya untuk mampu menjadi kendali lingkungan sehat di pasar. Modernisasi dengan demikian tidak harus memindah pelaku, tetapi menstransformasi tata kelola dan kehidupan pasar agar meningkat kualitasnya.

Eksternalitas Kehadiran Pasar Tradisional Dinoyo
     Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan (positif) maupun yang merugikan (negatif).
Adanya pasar tradisional dinoyo yang sekarang  tentunya juga menimbulkan eksternalitas, baik yang negatif, maupun yang positif. Eksternalitas negatif diantaranya: bau yang tidak sedap dan lingkungan yang menjadi kumuh. Tidak bisa dipungkiri, pasar tradisional di Indonesia kebanyakan terkenal dengan kesan kumuh. Begitu juga yang terjadi pada pasar dinoyo kota malang. Bau yang tidak sedap yang dikeluarkan dari pasar mempengaruhi kegiatan lain di sekitar pasar seperti halnya Rumah Sakit UNISMA yang berada di sekitar kawasan pasar dinoyo. Dengan kondisi seperti itu, tentu RS. UNISMA harus mengeluarkan dana lebih demi untuk kenyamanan orang-orang di rumah sakit seperti pasien-pasien maupun pengunjungnya.
Selain RS. UNISMA, eksternalitas negative lain juga dirasakan pedagang lain diluar pasar, terutama para pemilik warung makan. Yang tentunya mungkin pelanggan dari warung makan akan merasa terganggu dengan bau tak sedap yang berasal dari pasar.
Selanjutnya adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada lambatnya distribusi barang-barang dari produsen-produsen lain yang diangkut dengan mobil-mobil yang melewati kawasan pasar dinoyo, disamping itu juga pemborosan bahan bakar karena macet akan menambah biaya transportasi atas pengiriman barang-barang tersebut.
Namun disamping eksternalitas negatif, juga terdapat eksternalitas positif. Salah satunya dirasakan oleh para pedagang di sekitar kawasan pasar dinoyo. Dengan adanya pasar tersebut, maka semakin banyak orang yang berlalu-lalang di kawasan sekitar pasar, dan menjadikan kawasan tersebut menjadi salah satu kawasan pusat perdagangan. Selain itu, konsumen juga dapat memilih barang-barang kebutuhan dengan banyak pilihan dan harga yang bisa ditawar.
Relokasi Pasar Dinoyo di Merjosari
Pemerintah Kota/Kabupaten merelokasikan pasar tradisional dengan beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah untuk pembangunan yaitu demi terciptanya tata kota yang rapi dan indah. Namun perelokasian tersebut sudah pasti menuai pro dan kontra dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apalagi banyak dampak yang bisa ditimbulkan dari dan selama proses relokasi tersebut. Dampak yang dirasakan bisa berupa dampak positif dan juga dampak negatif. Hal yang biasa terlihat dalam proses relokasi  pasar tradisional adalah terjadinya konflik antara para pedagang dengan aparat yang merelokasi. Kebanyakan dari masyarakat tersebut masih berpikiran sempit dan tertutup makanya mereka sangat sulit untuk bisa menerima perubahan.
Pasar-pasar tradisional seringkali dianggap mengganggu ketertiban dan juga tata ruang kota. Maka dari itu pemerintah merelokasikan pasar tradisional untuk mendukung pembangunan dalam tingkat kota atau kabupaten. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.
Begitupun dengan Pasar Dinoyo, rencana relokasi pasar karena dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, juga menemui hambatan dan penolakan, baik dari para pedagang di pasar dinoyo maupun warga kelurahan merjosari. Para pedagang menolak karena mereka diharuskan kembali membayar untuk sewa kios, selain itu juga karena sempitnya lokasi juga menjadi alasan bagi para pedagang untuk pindah. Sementara itu, warga merjosari juga menolak, salah satu alasannya karena nantinya dikhawatirkan akan terjadi kemacetan karena jalan di daerah merjosari sempit.
Namun relokasi juga secara tidak langsung akan menguntungkan bagi para supir angkutan umum khususnya untuk trayek GML/HML (terminal HM. Rusdi/Gadang ke Terminal Landungsari). Selama ini, untuk angkot GML/HML relative sepi penumpang. Oleh karena itu, ketika pasar tradisional berada di merjosari maka akan semakin memperbanyak penumpang yang menaiki angkot GML/HML, karena satu-satunya angkot yang lewat depan pasar tersebut hanya GML/HML

Nabi Adam Dilahirkan???

        Suatu ketika saya mendapat info bahwa ada bazar buku di GNI, sebuah gedung serbaguna di salah satu sudut Kota Kediri. Maka dengan dorongan dari rasa cinta saya akan membaca, saya pun pergi untuk paling-tidak melihat buku-buku disana dengan harapan akan menemukan sebuah bacaan menarik demi memenuhi dahaga akan membaca. ketika sedang asik memilih buku dengan judul yang sekiranya menarik, tiba-tiba pandangan saya terhenti pada sebuah buku berjudul "Ternyata Adam Dilahirkan" karya bapak Agus Musthofa. sebagai anak yang dibesarkan dengan lingkungan awwam, saya kaget sekaligus penasaran setelah membaca judul buku tersebut. Tentu saja ,sebagai anak yang terdoktrin dari kecil bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Nabi Adam dan saya yakin orang lain pun didoktrin seperti itu pada waktu kecil, saya atau siapapun akan bertanya-tanya, benarkah (Adam dilahirkan)????? singkat cerita, Saya pun memutuskan untuk membeli buku tersebut.

        Subhanallah adalah kata yang sering terucap dalam hati ketika membaca lembar demi lembar halaman buku tersebut.
Banyak sekali ayat di Al-Qur’an yang bercerita mengenai penciptaan manusia. Beberapa berkata manusia diciptakan dari segumpal darah, beberapa berkata air mani yang bercampur, beberapa mengatakan dari tanah yang ditiupkan Ruh-Nya. . Sepintas ayat – ayat al-Qur’an tersebut seperti bertolak belakang. Bahkan tentang penciptaan dari tanah pun ,yang ditulis di dalam al-qur'an banyak yang seolah-olah bertolak-belakang, bebarapa ayat bercerita bahwa manusia berasal dari tanah kering, tanah yang basah (lempung, jawa red.), tanah hitam, dan lain sebagainya. Tetapi ternyata apabila dikaji secara holistik, akan memberikan petunjuk mengenai rahasia penciptaan nenek moyang umat manusia modern : Nabi Adam alaihissalam.

       Poin – poin penting di buku ini adalah ayat – ayat yang ternyata tidak merujuk bahwa ” Nabi Adam merupakan manusia pertama “ tetapi ” Nabi Adam merupakan khalifah pertama “, konsep DNA yang berisi “perintah” sebagai penyusun manusia yang menjadi kunci penciptaan, konsep baru yang coba diajukan Bapak Agus mustofa : bukan evolusi atau penciptaan tiba- tiba, tetapi “benih”, kekurang tepatan penerjemahan kedalam bahasa indonesia yang menyebabkan kesalahan persepsi, konsep Basyar – manusia purba dan Al- Insan - manusia modern, dan salah satu yang terpenting adalah : pemahaman Kun Fa Yakun yang mengandung arti “proses”, bukan “secara tiba- tiba”.

        Selain itu, pertanyaan yang perlu menjadi perdebatan yaitu: BAGAIMANA KONDISI NABI ADAM PERTAMA SAAT BARU DICIPTAKAN ?? APAKAH LANGSUNG SEBAGAI SEORANG DEWASA ?? ATAUKAH ANAK-ANAK (BAYI) ??. Ketika pertanyaan tersebut dijawab: "tentu saja langsung sebagai seorang dewasa ", bukankah jawaban tersebut sangat bertolak-belakang dengan ayat yang menerangkan bahwa penciptaan Nabi Isa sama dengan Penciptaan Nabi Adam (yang berarti mulai dari bayi dan tetntu DILAHIRKAN).

        Jujur setelah membaca karya bapak Agus Musthofa tersebut, wawasan keilmuan dan rasa haus akan pengetahuan saya semakin bertambah. sebagai penutup, mungkin ada yang berpikiran " ngapain mikirin ginian, khan kata orang2 tua dulu Nabi Adam itu manusia pertama". maka tanggapan saya :
"Allah SWT. menyuruh seluruh hamba-Nya, yakni umat manusia untuk selalu memikirkan tentang ciptaan-Nya."

REBUILDING ARAH PEMBANGUNAN NEGARA BERPERSPEKTIF GENDER : Solusi Tepat Guna mengatasi Kemiskinan Berwajah Perempuan


Ratusan teori tentang konsepsi gender telah menghiasi banyak buku dan literatur ilmiah yang beredar luas dikhalayak. Banyak perspektif, pendekatan, dan ideologi untuk menterjemahkan makna substansi dari kajian gender. Namun dapat disimpulkan oleh penulis bahwa gender adalah konstruksi sosial yang mengejawantahkan peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, gender bukan hanya terfokus pada perempuan saja (anggapan khalayak secara umum), tetapi berisi seperangkat kesepahaman masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, konsepsi dan pola gender sangat beragam karena dipengaruhi faktor kebudayaan dan agama yang beragam. Dalam Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender (MPAPBKR) peran-peran gender baik untuk laki-laki dan perempuan diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yakni reproduksi(domestik/keluarga), produksi (pekerjaan) dan peran dalam masyarakat(community).
Posisi perempuan dalam konsepsi gender idealnya adalah menghasilkan dampak yang positif. Tetapi fakta berkata lain, dalam penelitian yang dilakukan SMERU mengenai Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM) menunjukkan bahwa 8 dari 10 keluarga miskin dikepalai oleh perempuan. Penelitian dilakukan pada tahun 2006 diempat desa, yaitu Desa Cibulakan dan Parakantugu (Kabupaten Cianjur) dan desa Kedondong dan Jungpasir (Kabupaten Demak). Dalam metode SPKM, kesejahteraan keluarga terpetakan menjadi 10% keluarga terkaya dan 10 % keluarga termiskin. Hasilnya, secara umum dari penelitian tersebut dari 10% keluarga terkaya 99,28 % dikepalai oleh laki-laki dan dari 10% keluarga termiskin 80,44% dikepalai oleh perempuan. Situasi ini makin menunjukkan keterkaitan antara gender dan kemiskinan, bahwa sesungguhnya kemiskinan itu berwajah perempuan (Suryadarma, 2006 MPAPBKR). Lebih lanjut dalam MPAPBKR, ada fakta menarik yang berasal dari data statistik terkini PBB yang dapat menggambarkan keterpinggiran perempuan secara global, yakni sebagai berikut :
  • Perempuan melakukan kegiatan yang menyumbang 67% waktu kerja di dunia
  • Perempuan berpendapatan 10 % dari pendapatan di dunia
  • Perempuan merupakan 2/3 penderita huruf dunia, dan
  • Perempuan memiliki kurang dari 1% kekayaan (property) di dunia
Penjelasan arah pembangunan gender sebelumnya.(data,anggaran,peraturan, upaya pemerintah, program)
                                                                                          
Solusi :
Keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan.(dilihat dari proporsi kebijakan anggaran untuk apa saja dan tentu khususnya anggaran spesifik gender)
Peningkatan sadar pendidikan, akses pendidikan, mutu pendidikan, dan kualitasnya untuk warga perempuan (mengingat fakta buta huruf kebanyakan perempuan,maknanya anggaran pendidikan diprogramkan untuk itu melalui rincian jenis kegiatan dalam APBD/Perda).
Mengintegrasikan faktor-faktor gender pada tiap masalah pembangunan dan penganggaran.(butuh data dan dilihat dari penyusunan RKA SKPD dinas dalam penganggarab)
Kontrol yang bersifat gender pula(melalui dprd, dan lsm yang konsen).

Kesimpulan.
Pola implementasi dengan pemerintahan yang sehat dengan mengesampingkan ketidakadilan gender.
Partisipasi dari perempuan.

wrote by:
(Muhammad Abdullah Syukri)

Just For Your Info: harga BBM di negara lain


Harga BBM Termurah di Dunia :
1#Venezuela, Rp.585/Liter
2#Turkmenistan Rp.936/Liter
3#Nigeria, Rp.1.170/Liter
... 4#Iran Rp.1.287/Liter
5#Arab Saudi, Rp.1.404/Liter
6#Libya, Rp.1.636/Liter
7#Kuwait, Rp.2.457/Liter
8#Qatar, Rp.2.575/Liter
9#Bahrain, Rp.3.159/Liter
10#United Arab Emirates, Rp.4.300/Liter

Harga BBM Termahal di Dunia :
1#Istanbul, Turki Rp.22.600/Liter
2#Asmara, Eritrea, Rp.22.600/Liter
3#Oslo, Norwegia, Rp.21.800/Liter
4#Athena, Yunani, Rp.20.000/Liter
5#Monte Carlo, Monako, Rp.19.800/Liter
6#Kopenhagen, Denmark Rp.19.750/Liter
7#Stockholm, Swedia, Rp.19.700/Liter
8#Brussels, Belgia, Rp.19.200/Liter
9#London, Inggris, Rp.??.???/Liter
10#Amsterdam, Belanda, Rp. 18.800/Liter

Thursday, March 29, 2012

URBANISASI : Masalah Bagi Perkotaan dan Pedesaan


Urbanisasi
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi merupakan masalah yang cukup serius. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial-ekonomi kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak.
Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang terbatas, menjadi semakin meluas.
Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi
  1. Kehidupan kota yang lebih modern
Perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi yang pesat di perkotaan,  menarik masyarakat pedesaan untuk berpindah dari desanya menuju ke kota.

  1. Sarana dan prasarana kota lebih lengkap
Sarana dan prasana segala bidang tentunya lebih lengkap di kota daripada yang ada di desa. Contoh mudahnya adalah sarana dan prasarana untuk kesehatan. Dimana di kota banyak rumah sakit-rumah sakit yang besar dengan infrastruktur yang lebih memadai. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah infrastruktur di bidang transportasi.

  1. Lapangan pekerjaan di kota
Banyak masyarakat pedesaan beranggapan bahwa akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di daerah perkotaan tanpa melihat dan mempertimbangkan kemampuannya, sehingga banyak masyarakat desa yang pindah ke kota malah menjadi beban bagi kota itu sendiri, karena semakin banyak pengangguran.
  1. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi lebih baik dan berkualitas
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan di desa kurang memadai baik dari segi kualitas maupun sarana pembelajarannya.

Rekomendasi Kebijakan Untuk Mengurangi Arus Urbanisasi
Pemerintah harusnya lebih memperhatikan pembangunan di daerah pedesaan agar kesenjangan antara kota dan desa semakin kecil. Misalnya dengan memperbaiki sarana dan prasarana terutama untuk transportasi. Dengan adanya akses transportasi yang lebih baik menuju pedesaan, diharapkan kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi, sampai konsumsi di pedesaan akan lebih baik. Disamping itu, akses yang baik akan mendorong berdirinya lapangan-lapangan pekerjaan seperti pabrik-pabrik karena daerah pedesaan cenderung memiliki wilayah yang luas, dengan berdirinya pabrik-pabrik diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitarnya. Selain itu, pendidikan masyarakat di pedesaan harus lebih diperhatikan agar masyarakat desa memiliki wawasan yang luas dan bias menggali potensi dan kemampuannya sehingga dapat mengembangkan potensi dari desanya masing-masing.

Wednesday, March 28, 2012

Pola Akuntabilitas


            Guillermo O’Donnel mengatakan bahwa pola akuntabilitas terbagi menjadi dua, yaitu akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Menurut O’Donnel, Akuntabilitas vertikal terkait dengan tradisi demokrasi, dimana elit menunjukkan akuntabilitasnya kepada publik. Konsepsi tentang akuntabilitas vertikal sebenarnya lebih luas karena merujuk pada akuntabilitas bawahan dan atasan. Akuntabilitas vertikal terbagi menjadi dua, yaitu akuntabilitas bawahan, dimana agen memiliki status yang lebih rendah dari prinsipal dan akuntabilitas pengontrol elit atau atasan, dimana agen memiliki status yang lebih unggul dari prinsipal.
            Sedangkan akuntabilitas horizontal, masih menurut O’Donnel, adalah akuntabilitas antara prinsipal dan agen dimana keduanya memiliki kedudukan yang sejajar. Philippe Schimitter mendefinisikan Akuntabilitas horizontal sebagai “ keberadaan pelaku kolektif yang dibentuk secara permanen dan diakui pada berbagai tingkat kebijakan yang memiliki kemampuan sepadan untuk saling memantau perilaku dan untuk saling bereaksi terhadap inisiatif”. Jadi, setiap peran yang dimainkan aktor entah itu sebagai agen atau prinsipal berkedudukan sama dan sejajar. Jika didefinisikan menurut keberadaan lembaga negara, akuntabilitas horizontal adalah akuntabilitas antar tiap-tiap lembaga yang berwenang memeriksa perilaku lembaga lain.
            Dimensi vertikal akuntabilitas merujuk misalnya pada hubungan kekuasaan antara negara dengan warganya, sedangkan akuntabilitas horizontal merujuk pada pengawasan, pemeriksaan, dan perimbangan institusional di negara terkait. Hubungan diantara berbagai level pemerintahan nampaknya bersifat pemerintahan, namun juga bisa dipahami sebagai akuntabilitas horizontal karena setiap tingkat pemerintahan biasanya mencakup dimensi vertikal dan horizontal,  dimana propinsi memiliki gubernur dan lembaga legislatif, dan kota memiliki walikota dan dewan.
            Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat dikatakan  bahwa pola akuntabilitas terperinci menjadi tiga, yaitu:
1.      Akuntabilitas Vertikal Bawahan
Merujuk pada hubungan akuntabilitas yang memastikan bahwa agen yang berkedudukan lebih rendah daripada prinsipal dalam hierarki status melaksanakan kepentingan prinsipal. Akuntabilitas vertikal bawahan dimaknai sebagai pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi. Hal ini merupakan pola klasik dalam akuntabilitas.
Akuntabilitas vertikal bawahan dimaknai sebagai pertanggungjawaban dari otoritas yang lebih rendah kepada otoritas yang lebih tinggi kedudukannya dalam hierarki keorganisasian. Di samping itu, masalah ini merupakan masalah prinsipal-agen klasik dalam suatu organisasi, yaitu bagaimana mendelegasikan otoritas pada agen tanpa merubah fokus tujuan organisasi dengan srategi yang dipakai oleh pemimpin organisasi. Misalnya tentang bagaimana seorang panglima perang memberi kebebasan terhadap satuan-satuan dalam peperangan untuk berbuat sesuatu yang efektif untuk memperoleh kemenangan.
Dalam konteks pemerintahan, akuntabilitas bawahan dilakukan oleh, misalnya, para menteri terhadap presiden. Dimana para menteri bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan demi terwujudnya visi dan misi yang digagas oleh presiden.
Dalam kasus Akuntabilitas vertikal bawahan, mekanisme yang digunakan umumnya adalah mekanisme akuntabilitas hierarkis dimana atasan dapat memecat bawahan, membatasi tugas dan ruang lingkupnya, serta mengatur kompensasi finansial. Dengan kata lain, agen dapat dipecat atau otoritasnya dikurangi jika mereka gagal mencapai tujuan yang diinginkan prinsipal atau pemimpin organisasi.
2.      Akuntabilitas Vertikal Pengontrol Elit atau Atasan
Akuntabilitas ini merujuk pada kemampuan pihak yang berkudukan dalam posisi non-kepemimpinan untuk menuntut akuntabilitas pada pemimpin. Artinya pada pola ini, status agen adalah lebih tinggi dari prinsipal. Pola akuntabilitas ini sangat terkait dengan sitem demokrasi.
Akuntabilitas vertikal pengontrol atasan dimaknai sebagai pertanggungjawaban kepada otoritas yang sebenarnya mempunyai kedudukan tinggi namun terlihat berada di bawah, misalnya, pertanggungjawaban yang dipilih kepada rakyat yang memilih, akuntabilitas dari elite kepada masyarakat, pertanggungjawaban pemerintah pusat kepada parlemen.
Dalam praktik demokrasi di Indonesia, pertangungjawaban politik pemerintah (Presiden dan Kabinet) kepada rakyat dilakukan melalui dan oleh lembaga parlemen (DPR). Kontrol parlemen dalam upaya mewujudkan akuntabilitas tidak hanya bersandar pada bunyi konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus berpijak pada realitas bahwa dalam politik, saling dukung antara pemerintah dan parlemen merupakan hal yang umum agar stabilitas dan kelancaran pemerintahan dapat berlangsung dengan baik. Meski begitu, saling dukung itu bukan berarti saling bungkam sehingga fungsi kontrol (check and balances) tak berfungsi sama sekali, seperti yang terjadi di zaman Orde Baru yang me-mandulkan parlemen dan menjadikan mereka kaum yes-man[1] dan kaum rubber stamp[2].
3.      Akuntabilitas Horizontal
Yaitu hubungan akuntabilitas antara agen dan prinsipal dimana keduanya berkedudukan sejajar. Atau bisa juga dimaknai sebagai akuntabilitas yang merupakan bagian dari fungsi check and balances yang berada di dalam pemerintahan.
Akuntabilitas horizontal tergantung pada perbedaan kepentingan institusi, untuk memastikan persaingan yang sehat dan untuk mencegah hubungan yang tidak baik diantara organisasi-organisasi yang memiliki tingkat status sosial dan politik yang sama. Wujud dari akuntabilitas ini adalah hadirnya lembaga-lembaga yang melakukan penilaian & pengawasan terhadap kinerja pemerintah, seperti BPK dan KPK.
            Dari beberapa penjelasan pola-pola akuntabilitas di atas, dapa disimpulkan bahwa dalam mencapai suatu pemerintahan yang demokratis, ketiga pola akuntabilitas perlu diterapkan. Akuntabilitas vertikal bawahan perlu diterapkan oleh para menteri terhadap presiden agar tujuan bernegara dapat tercapai sesuai apa yang diinginkan presiden. Terlebih lagi akuntabilitas vertikal pengontrol elit dan akuntabilitas horizontal, dimana hal tersebut sangat diperlukan dalam sistem demokrasi. Seorang presiden, sebagai eksekutif, perlu dikontrol kinerjanya agar tidak keluar dari tujuan awal, rakyat mengawasi dan mengontrol kinerja presiden melalui Dewan Perwakilan Rakyat yang bertindak sebagai legislatif

DAFTAR PUSTAKA

AIPI. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.
Al Barry, Dahlan. 1997. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
BPKP. 2007. Akuntabilitas Instansi Pemerintahan (modul). Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP.
Jafar, Marwan. 2010. Akuntabilitas Demokrasi, (online), (http//bataviase.co.id/Artikel/ Akuntabilitas-demokrasi.html, diakses 02 Maret 2011).
Raba, Manggaukang. 2006. Akuntabilitas: Konsep dan Implementasi. Malang: UMM Press.


[1] Yes-man = pengangguk, selalu setuju.
[2] Rubber stamp = orang-orang yang menyetujui

Kegagalan Institusi Publik




A.      Institusi Publik
Pranata atau institusi adalah norma atau mengenaisuatu aktivitas masyarakat yang khusus. Norma / aturan dalam pranata berbentuk tertulis ( undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis ( hukum  adat, kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi social / moral ( misalkan dikucilkan ) ). Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur. Institusi dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
                    i.            Institusi formal adalah suatu institusi yang dibentuk oleh pemerintah atau oleh swasta yang mendapat pengukuhan secara resmi serta mempunyai aturan-aturan tertulis / resmi. Institusi formal dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
§  Institusi pemerintah adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan suatu kebutuhan yang karena tugasnya berdasarkan pada suatu peraturan perundang - undangan melakukan kegiatan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan meningkatkan taraf kehidupan kebahagiaan kesejahteraan masyarakat. Institusi Pemerintah atau Lembaga Pemerintah dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Lembaga pemerintah yang dipimpin oleh seorang menteri.
2.      Lembaga pemerintah yang tidak dipimpin oleh seorang menteri, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden (disebut Lembaga Pemerintah Non-Departemen). Contoh : Lembaga Administrasi Negara dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
                   ii.               Institusi swasta adalah institusi yang dibentuk oleh swasta (organisasi swasta) karena adanya motivasi atau dorongan tertentu yang didasarkan atas suatu peraturan perundang-undangan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Institusi atau lembaga ini secara sadar dan ikhlas melakukan kegiatan untuk ikut serta memberikan pelayanan masyarakat dalam bidang tertentu sebagai upaya meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Contoh : Yayasan Penderita Anak  Cacat, Lembaga Konsumen, Lembaga Bantuan HukumPartai Politik.
§  Institusi non-formal adalah suatu institusi yang tumbuh dimasyarakat karena masyarakat membutuhkannya sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka. Ciri-ciri institusi non-formal antara lain:
1.      Tumbuh di dalam masyarakat karena masyarakat membentuknya, sebagai wadah untuk menampung aspirasi mereka.
2.      Lingkup kerjanya, baik wilayah maupun kegiatannya sangat terbatas.
3.      Lebih bersifat sosial karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan para anggota.
4.      Pada umumnya tidak mempunyai aturan-aturan formal (Tanpa anggaran dasar/Anggaran rumah tangga).


B.  Budaya Birokrasi Pelayanan Publik
Pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi negara. Menurut Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi negara pernah menyindir  tentang keberadaan teori administrasi negara. Menurut Caiden, administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat diberlakukan secara umum dari administrasi negara.
               Hal yang bernada sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W
. Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya. Dipihak lain, dalam beberapa literatur pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992, Munafe,1966, Djumara,1994, Hardjosoekarso, Kristiadi dan Saragih,1994).
               Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis (untuk apa) dalam memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan publik
.
Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain :
1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual)
2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan
3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda
4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk mengembangkan teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik
 5. Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi
6. Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif).
Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya :
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada kepentingan pembangunan
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory.
              Adapun Fred. W. Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi (khususnya yang berkaitan dengan pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :
(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris
(2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik
(3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).
              Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka diharapkan studi administrasi negara:
(a) Mampu menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data dilapangan.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu adanya kegiatan studi komparatif administrasi negara dalam bidang pelayanan publik dan meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik, proses implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik.
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi.
             Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi, tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan ( Sondang P.Siagian,1995).
            Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi, menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai, menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi, menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi, menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan jati diri para anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya, membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial
, dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
            Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain, mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi, mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu, mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial, dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi. Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik.
            Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah: Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit, kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal, kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang, dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik.
            Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis, pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis), pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu), sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
              Menurut Grabiel A.Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif.
Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

C.  Efektivitas Pelayanan Publik
Publik substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik.
               Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.
              Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan
publik).
            Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a.  Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat, dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fl
eksibel dan responsif.
            Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
            Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani).
            Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan), Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan. Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau
secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan)
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan (e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
           
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan.
            Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu :
(1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge),
(2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan
(4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995). Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Suatu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

D.  Upaya Mengatasi Masalah Pelayanan Publik
              Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkah-langkah strategis antara lain :
o   Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik  otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis,
o   Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik,
o   Meningkatkan keterlibatan masyarakat , baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik,
o   Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian),
o   Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik,
o   Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik,
o   Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik,
o   Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik,
o   Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik,
o  Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.


 
DAFTAR PUSTAKA
Darbani, Pasolong. 2008. Teori Administrasi Publik. Jakarta. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia
Drs. Ig. Wursanto. 2003. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.