Please leave a comment

Saturday, April 7, 2012

Cerita Dibalik KLB-PSSI (KPSI) #part.01


PENGANTAR

Sebelum berbicara mengenai Mengapa Terjadi Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 18 Maret 2012 di Jakarta, sebaiknya kita membaca Statuta PSSI Pasal 31 ayat 2, yang berbunyi:
Pasal 31 Statuta PSSI
Ayat 2
Komite Eksekutif akan mengadakan Kongres Luar Biasa apabila diminta secara tertulis oleh 2/3 (dua per tiga) anggota PSSI. Permintaan tersebut harus mencantumkan agenda yang akan dibicarakan. Kongres Luar Biasa harus diadakan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan tersebut. Apabila Kongres Luar Biasa tidak diadakan, Anggota yang memintanya dapat mengadakan Kongres sendiri. Sebagai usaha terakhir, Anggota bisa meminta bantuan dari FIFA.
Artinya sangat jelas, bahwa Kongres Luar Biasa (KLB) yang diminta oleh Anggota PSSI adalah sah dan dapat dilaksanakan.
Anggota PSSI, bahkan dapat menggelar KLB sendiri, apabila Komite Eksekutif PSSI tidak melaksanakan permintaan KLB oleh Anggota PSSI.
Di sini terbaca dengan jelas, bahwa KLB, selain merupakan proses yang biasa di dalam organisasi manapun, termasuk PSSI, juga sangat dijamin oleh Statuta PSSI.
KLB PSSI juga harus dibaca sebagai proses organisasi dalam mencari jalan keluar apabila terjadi kebuntuan organisasi akibat keinginan Anggota PSSI untuk mengganti Ketua Umum atau Komite Eksekutif PSSI.
Sehingga sangat tidak beralasan apabila ada pihak, terutama pengurus PSSI yang mengatakan bahwa KLB hanya sah apabila dilaksanakan oleh Eksekutif Komite PSSI. Sebab, pandangan itu sangat bertentangan dengan Statuta PSSI (yang menjamin kedaulatan Anggota) di Pasal 31 Ayat 2.
Berikut ringkasan materi tentang Mengapa Terjadi KLB PSSI yang kami susun sesuai dengan fakta yang terjadi di kepengurusan PSSI.
KLB Solo 9 Juli 2012
Seperti kita ketahui bersama, pada 9 Juli 2011, di Kota Solo, telah digelar Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) oleh Komite Normalisasi (KN) PSSI, dengan agenda memilih Ketua Umum, Wakil Ketua Umum dan sembilan Anggota Komite Eksekutif.
KLB PSSI di Solo akhirnya memilih Saudara Djohar Arifin Husin sebagai Ketua Umum, Saudara Farid Rahman sebagai Wakil Ketua Umum, dan sembilan Anggota Komite Eksekutif PSSI, yakni Saudara Sihar Sitorus; Mawardi Nurdin; Widodo Santoso; Bob Hippy; Tonny Aprilani; Erwin Dwi Budiman; Roberto Rouw; La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Saudari Tutty Dau.
Perlu diketahui, KLB PSSI di Solo tidak membahas dan menetapkan program kerja PSSI. Karena program kerja PSSI telah dibahas dan ditetapkan dalam Kongres II PSSI Tahun 2010, yang diselenggarakan di Bali pada 21-22 Januari 2011.
Dengan demikian, kepengurusan baru hasil KLB PSSI di Solo berkewajiban menjalankan amanat Kongres II PSSI di Bali seperti diatur dalam Pasal 40 Statuta PSSI. Dimana Kongres adalah forum tertinggi organisasi, yang keputusannya bersifat mengikat dan harus dijalankan oleh pengurus, seperti diatur dalam Pasal 21, 22 dan 34 Statuta PSSI.
Pasal 40 Statuta PSSI
(2).Tanggungjawab utama Ketua Umum adalah untuk;
a.melaksanakan keputusan yang dikeluarkan Kongres dan Komite Eksekutif melalui Sekretaris Jenderal;
Pasal 21 Statuta PSSI
(1).Kongres merupakan badan tertinggi dan legislatif;
Pasal 22 Statuta PSSI
(1).Kongres merupakan forum pertemuan Anggota PSSI yang dilaksanakan secara rutin. Kongres merupakan badan supremasi dan legislatif tertinggi PSSI. Hanya Kongres yang dilaksanakan secara rutin yang mempunyai kewenangan mengambil keputusan-keputusan;
Pasal 34 Statuta PSSI
Keputusan yang dikeluarkan oleh Kongres berlaku efektif bagi Anggota dalam waktu 60 (enam puluh) hari setelah ditutupnya Kongres, kecuali Kongres memutuskan tanggal lain yang pasti untuk berlakunya suatu keputusan Kongres.
Mencopot Riedl 13 Juli 2012
Belum genap sepekan setelah terpilih, tepatnya tanggal 13 Juli, Komite Eksekutif PSSI telah membuat keputusan kontroversial dengan memecat Pelatih Tim Nasional (Timnas) Alfred Riedl. Riedl dicopot dan diganti dengan pelatih asal Belanda Wim Risjbergen.
Pencopotan Riedl menimbulkan tanda tanya di kalangan Anggota PSSI dan insan sepakbola tanah air. Apalagi pengganti Riedl, Wim diketahui sebagai pelatih Klub PSM yang didatangkan oleh konsorsium Liga Primer Indonesia (LPI) saat itu.
Aroma politis dibalik pencopotan Riedl makin tercium di kalangan Anggota PSSI. Sejumlah media pun mulai memberitakan bahwa penggatian tersebut sebagai langkah sapu bersih terhadap semua warisan kebijakan pengurus lama.
Babak awal kontroversi kepengurusan Johar Arifin Husin pun dimulai.
Rapat Exco 16 September 2011
Kepengurusan Johar Arifin Husin kembali membuat keputusan-keputusan kontroversial melalui rapat Komite Eksekutif.
Keputusan pertama adalah melakukan evaluasi jumlah klub profesional dan peserta liga profesional kasta tertinggi, melalui verifikasi klub.
Keputusan ini menegasikan jenjang kompetisi dan hasil klasemen akhir. Menurut Johar Arifin Husin, kompetisi akan ditata ulang, dan di-reset dari nol. Posisi klub juga dikembalikan ke nol, dan harus melewati verifikasi.
Anggota Komite Eksekutif PSSI bidang Kompetisi, Sihar Sitorus saat itu mensyaratkan setiap Klub harus menyetor dana jaminan sebesar Rp. 5 miliar, untuk dapat mengikuti kompetisi profesional.
(Keputusan ini akhirnya dikoreksi menjadi Rp. 2 miliar, setelah mendapat penolakan dari klub. Belakangan, setelah kompetisi IPL akan digelar, dikoreksi lagi tanpa uang jaminan).
Keputusan lain yang dihasilkan dalam rapat Komite Eksekutif tersebut adalah mengubah format kompetisi profesional kasta tertinggi menjadi: dua wilayah, dan diikuti oleh 32 klub.
32 klub ini, sebagian terdiri dari klub-klub baru, yang pada musim kompetisi PSSI tahun sebelumnya tidak pernah mengikuti kompetisi PSSI. Klub-klub ini sebelumnya mengikuti kompetisi yang digelar LPI. Kompetisi di luar PSSI, atau yang lazim disebut breakaway league.
Sebagian lainnya berasal dari klub yang berada di kompetisi kasta kedua, yakni Divisi Utama. Dan sebagian lagi adalah klub-klub asli yang mengikuti kompetisi Liga Super di PSSI pada musim kompetisi sebelumnya.
Keputusan kontroversial lainnya yang dihasilkan dalam rapat Komite Eksekutif saat itu adalah menunjuk PT. Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai pelaksana kompetisi liga profesional PSSI, menggantikan PT. Liga Indonesia.
Selain itu, PSSI Johar Arifin Husin juga mengubah nama kompetisi profesional, dari Liga Super Indonesia (LSI) atau Indonesia Super League (ISL) menjadi Liga Prima Indonesia (LPI) atau Indonesia Primier League (IPL).
Keputusan mengganti pelaksana liga dari PT. Liga Indonesia ke PT. LPIS membawa konsekuensi terhadap klub Super Liga, yang memiliki saham di PT. Liga Indonesia.
Perlu diketahui bahwa saham PT. Liga Indonesia terdiri dari: 99 persen milik klub Super Liga, dan 1 persen milik PSSI. Sedangkan komposisi saham PT. LPIS, yang tercatat di dalam Akta Notaris adalah 70% dimiliki Saudara Johar Arifin Husin (belakangan dikatakan milik Klub) dan 30% dimiliki Saudara Farid Rahman (belakangan dikatakan milik PSSI).
Keputusan mengubah format kompetisi kasta tertinggi menjadi dua wilayah dan mengisi dengan peserta-peserta yang sama sekali tidak pernah berlaga di jenjang sebelumnya, melalui proses promosi-degradasi (seperti lazimnya kompetisi di seluruh dunia) tentu menciderai azas utama dalam olahraga, yakni: sportifitas dan fairplay.
Belum lagi apabila ditinjau dari Statuta PSSI dan program kerja PSSI yang telah diputuskan dalam Kongres PSSI sebelumnya, yang dilaksanakan di Bali.
Statuta PSSI dan Keputusan Kongres Bali telah mengatur dengan sangat jelas mengenai kompetisi.
Kongres II PSSI di Bali Januari 2011 telah memutuskan; pertama, Kompetisi PSSI tahun 2011/2012 diikuti 18 klub. Kedua, nama Kompetisi telah diputuskan Kongres dengan nama Indonesia Super League (ISL) atau Liga Super. Bukan Indonesia Premier League (IPL) atau Liga Prima Indonesia.
Selain melanggar/ mengingkari Keputusan Kongres II PSSI di Bali, keputusan menjadikan peserta Kompetisi kasta tertinggi lebih dari 18 klub, jelas melanggar Statuta PSSI.
Seharusnya Komite Kompetisi, Sihar Sitorus membaca Keputusan Kongres II PSSI Bali dan Statuta PSSI dengan cermat.
Pasal 23 ayat (1) huruf a Statuta PSSI telah jelas mengatakan bahwa hanya ada 18 klub Super Liga yang mempunyai suara, yang jumlahnya sudah pasti berdasarkan hasil akhir kompetisi 2010/2011.
Artinya, kompetisi sepakbola profesional strata tertinggi yang disebut Liga Super hanya 18 klub.
Jika dari 18 klub itu ada klub yang memilih tidak mengikuti kompetisi, maka posisi klub itu digantikan oleh klub yang derajatnya berada di bawahnya. Seperti diatur dalam Peraturan Organisasi (PO) PSSI tentang Kompetisi. Tetapi, jumlahnya tetap 18 klub.
Dengan demikian format kompetisi yang menghadirkan kemungkinan lebih dari 18 klub tentulah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Statuta PSSI.
Pasal 23 ayat (1) huruf a Statuta PSSI
Peserta Kongres
(1) Kongres diikuti 108 (seratus delapan) peserta sebagai berikut:
a.18 (delapan belas) peserta dari Klub-klub Super Liga; (satu suara setiap peserta)
Note: Di pasal tersebut di atas, jelas disebut; Klub-klub Super Liga, bukan Klub-Klub Liga Prima.
(2) Klub-klub teratas sebagaimana dinyatakan pada ayat 1 (satu) huruf b sampai huruf e, harus berdasarkan peringkat akhir dari kompetisi nasional tahun berlangsung.
Note: Jelas dimaksudkan dalam pasal tersebut di atas, bahwa huruf a, yang menyebutkan tentang 18 Klub, adalah jumlah keseluruhan, bukan berdasar peringkat. Karena yang berdasar peringkat hanya huruf b sampai e, yang menyangkut Klub Divisi Utama, Divisi Satu, dan Divisi Dua. Jadi, jumlah peserta Kongres untuk Klub kasta tertinggi (Super Liga) mengikuti keseluruhan jumlah peserta Kompetisi, yakni 18 Klub.
Ketua Komite Kompetisi juga seharusnya membaca Statuta PSSI Pasal 37 ayat (1) butir a.
Pasal 37 Statuta PSSI
(1).Komite Eksekutif berwenang:
a.Mengambil keputusan atas seluruh kasus yang bukan merupakan lingkup tanggung jawab Kongres atau yang tidak diberikan kepada badan lain sebagaimana diatur dalam Statuta ini.
Atas bunyi pasal tersebut di atas, jelas dimaksudkan bahwa apa-apa yang sudah diputuskan dan menjadi keputusan Kongres, tidak dapat diubah melalui forum selain (di bawah) Kongres. Keputusan Kongres hanya bisa diubah melalui Kongres.
Kongres II PSSI telah dengan jelas memutuskan dan menetapkan keputusan tersebut dalam lembar Keputusan Kongres, bahwa peserta Kompetisi ISL 2011/2012, diikuti oleh 18 Klub. Bukan 32, 24 atau 12 Klub.
Perlu juga diketauhi, bahwa PSSI, khususnya Komite Kompetisi belum pernah memperbarui Peraturan Organisasi tentang Kompetisi, Peraturan Organisasi mengenai Liga dan lain-lain.
Artinya, Komite Eksekutif PSSI sama sekali belum pernah membuat Peraturan Organisasi yang baru dan sekaligus belum pernah mencabut Peraturan Organisasi PSSI yang sudah ada.
Dengan demikian semua Peraturan Organisasi PSSI yang ada masih berlaku dan menjadi acuan pelaksanaan organisasi.
Artinya bahwa Peraturan Organisasi PSSI yang terkait dengan kompetisi antara lain Peraturan Organisasi PSSI Nomor 07/PO-PSSI/IX/2009 tentang Kompetisi, dan Peraturan Organisasi PSSI Nomor 02/PO-PSSI/III/2008 tentang Pemain: Status, Alih Status dan Perpindahan, serta Peraturan Organisasi PSSI Nomor 05/PO-PSSI/III/2008 tentang Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Badan Liga Sepakbola Indonesia masih berlaku hingga saat ini.
Konsekuensi hukumnya; semua hal tentang kompetisi baik format, jumlah klub dan badan atau liga yang mengaturnya masih valid dan berlaku.
Seorang anggota Komite Eksekutif, yang juga ketua Komite Hukum PSSI, La Nyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan peserta rapat Komite Eksekutif untuk tidak menabrak Statuta PSSI dan untuk menjalankan program kerja yang sudah diputuskan dalam Kongres II PSSI di Bali, Januari 2011.
Rupanya penolakan La Nyalla Mahmud Mattalitti, yang disertai argumentasi hukum yang mengacu kepada hasil Keputusan Kongres II PSSI di Bali, dan Statuta serta PO PSSI dapat diterima oleh peserta rapat Komite Eksekutif.
Keputusan membuat kompetisi dua wilayah pun berubah menjadi satu wilayah. Jumlah peserta kompetisi kasta tertinggi pun kembali menjadi 18 klub, sesuai Statuta PSSI.
Setelah rapat, Ketua Umum PSSI Johar Arifin Husin menyampaikan langsung keputusan tersebut kepada media massa.
Rapat Exco 21 September 2011
Keputusan rapat Komite Eksekutif pada 16 September 2011 yang telah disampaikan ke media massa tentang format dan jumlah peserta kompetisi kembali diubah dalam rapat Komite Eksekutif pada 21 September 2011.
Ketua Umum PSSI Johar Arifin Husin mendatangkan pengacara Timbul Lubis untuk hadir dan memberi pendapat hukum dalam rapat Komite Eksekutif.
Timbul Lubis didatangkan untuk memberikan justifikasi hukum bahwa kompetisi kasta tertinggi boleh diikuti oleh lebih dari 18 klub. Dan boleh diselenggarkan oleh PT LPIS, dengan nama liga bukan Super Liga, tetapi Indonesia Primier League.
Ketua Komite Hukum PSSI La Nyalla Mahmud Mattalitti yang bertahan dengan pendapat hukumnya yang mengacu kepada keputusan Kongres II PSSI dan Statuta PSSI tetap menolak pendapat hukum Timbul Lubis.
Ketua Umum PSSI Johar Arifin pun memaksa dengan melontarkan opsi voting untuk mengambil keputusan. La Nyalla Mahmud Mattalitti menolak opsi tersebut. Dan memilih untuk tidak bertanggung jawab terhadap hasil keputusan rapat Komite Eksekutif.
La Nyalla Mahmud Mattalitti saat itu dengan tegas mengatakan: Jika Komite Eksekutif memaksakan diri melanggar Statuta PSSI dan tidak menjalankan apa yang sudah diputuskan di Kongres II PSSI di Bali, maka dirinya akan menjadi orang pertama yang akan melontarkan gagasan KLB PSSI untuk mengganti Ketua Umum PSSI Johar Arifin Husin.
La Nyalla Mahmud Mattalitti kepada media massa secara terbuka menyatakan bahwa dirinya sebagai pihak yang menolak terhadap keputusan rapat Komite Eksekutif PSSI tanggal 21-22 September 2011.
Saat itu dikatakan La Nyalla Mahmud Mattalitti bahwa semua Anggota PSSI telah sepakat bahwa aturan organisasi tertinggi di PSSI adalah Statuta PSSI.
Semua yang ada di dalam Statuta harus dijalankan, ditaati, dan dilaksanakan oleh pengurus dan seluruh anggota PSSI.
Semua Anggota PSSI juga sepakat bahwa forum tertinggi organisasi PSSI adalah Kongres.
Kongres pula yang menyusun program kerja PSSI yang kemudian wajib dijalankan oleh Ketua Umum PSSI beserta jajarannya.
Sehingga, apabila kepengurusan melanggar Statuta, maka dapat dipastikan organisasi tidak akan berjalan efektif.
Sejurus dengan itu, apabila kepengurusan tidak menjalankan hasil Kongres, maka dapat dipastikan kepengurusan tersebut melanggar Statuta.
Sehingga dengan demikian, Statuta dan Kongres ibarat dua sisi koin. Dimana satu dengan lainnya saling terkait.
Dengan demikian, apabila ada kepengurusan yang nyata-nyata tidak menjalankan hasil Kongres dan nyata-nyata melanggar Statuta, maka dapat dipastikan bahwa pengurus tersebut bukan saja menciderai sepakbola nasional, tetapi juga secara sistemik merusak organisasi PSSI.
Sejak saat itu, La Nyalla Mahmud Mattalitti memilih berada di jalur prinsip yang berbeda dengan Ketua Umum PSSI Johar Arifin Husin.
Sikap La Nyalla Mahmud Mattalitti mendapat dukungan dari tiga anggota Komite Eksekutif PSSI lainnya, yakni: Robertho Rouw, Erwin D. Budiawan dan Tonny Aprilani.
Namun Ketua Umum PSSI Johar Arifin Husin tetap memaksakan keputusan mengubah jumlah peserta dan penyelenggara Kompetisi Profesional.
PSSI menerbitkan Keputusan tentang Jumlah Peserta Kompetisi PSSI 2011/2012 yang dituangkan dalam Lembar Keputusan PSSI Nomor: KEP/27/JAH/IX/2011, tertanggal 25 September 2011.
yang menetapkan:
Pertama Menetapkan Jumlah Peserta Kompetisi PSSI Liga Prima tahun 2011/2012 adalah 24 klub
Kedua Surat Keputusan ini berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam surat Keputusan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya
Keputusan menjadikan 24 Klub di atas dilakukan dengan mengakomodasi/ mengikutisertakan ke kasta tertinggi secara cuma-cuma 6 (enam) klub yang tidak layak berada di kasta tertinggi, dikarenakan telah terdegradasi di kompetisi tahun sebelumnya. Bahkan ada klub yang bukan anggota PSSI.
Klub-klub tersebut adalah:
1. Persebaya Surabaya; versi Persebaya 1927, yang sebelumnya tidak mengikuti kompetisi PSSI. Persebaya yang mengikuti kompetisi PSSI, seharusnya berlaga di Divisi Utama, bukan kasta tertinggi.
2. Persema Malang; yang oleh Kongres II PSSI telah diberhentikan sebagai anggota PSSI. Sehingga bukan lagi anggota PSSI.
3. Persibo Bojonegoro; yang oleh Kongres II PSSI telah diberhentikan sebagai anggota PSSI. Sehingga bukan lagi anggota PSSI.
4. Bontang FC; terdegradasi ke Divisi Utama sesuai hasil akhir kompetisi tahun sebelumnya.
5. PSM Makassar; mendapat sanksi PSSI dan seharusnya bermain di Divisi I. Bukan kompetisi kasta tertinggi.
6. PSMS Medan. Terdegradasi ke Divisi Utama sesuai hasil akhir kompetisi tahun sebelumnya.

0 comments

Post a Comment