Beberapa penelitian menunjukkan ,kontaminasi mikroba pada sayuran segar masih di atas ketentuan yang dipersyaratkan. Bahkan, ada yang melaporkan sayuran segar tercemar Salmonella, yaitu bakteri penyebab penyakit tifus. Kontaminasi Salmonella pada makanan
tidak dapat diketahui melalui perubahan warna, bau maupun rasa. Makin tinggi kandungan Salmonella pada makanan, makin besar risiko manusia terinfeksi bakteri
tersebut. Gejala Salmonellosis yang paling sering terjadi adalah gastroenteritis, yaitu peradangan pada perut dan usus halus akibat keracunan makanan atau higiene yang buruk. Jenis mikroba lain yang sering ditemukan pada sayuran segar adalah Escherichia coli. Beberapa strain E. coli dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan dengan memproduksi enterotoksin.
Gejala infeksinya menyerupai kolera. Bakteri tersebut menyerang sel-sel epitelium saluran usus halus serta mengeluarkan enterotoksin. E. coli patogen dapat menimbulkan sindroma klinis, yaitu gastroenteritis akut pada anak-anak dan infeksi pada saluran pencernaan.
(1) menguraikan pektin yang terkandung pada dinding sel agar teksturnya menjadi lunak
(2) membunuh kuman penyakit
(3) agar senyawa beracun alami tidak aktif
(4) menguraikan residu pestisida agar tidak berbahaya bagi tubuh
(5) mengubah senyawa komplek menjadi lebih sederhana, sehingga mudah untuk dicerna dan diserap tubuh.
Dibandingkan bahan segarnya, proses pemasakan dapat menurunkan kandungan gizinya. Oleh karena itu, proses memasak harus dapat mengkombinasikan dua kepentingan. Pertama, kepentingan pemenuhan selera, dan kedua kepentingan kebutuhan gizi. Dengan demikian, memasak harus dilakukan dengan benar agar bahan yang dimasak tidak hancur dan hilang khasiatnya bagi tubuh.
1. Residu Pestisida
Budidaya sayuran tidak terlepas dari masalah hama dan penyakit tanaman. Untuk menjaga serangan hama, petani menggunakan aneka merek pestisida. Pemanenan sayuran tidak boleh dilakukan ketika sayuran habis disemprot pestisida, karena residu pestisida masih tertinggal pada sayuran sampai beberapa hari setelah penyemprotan, terutama saat kemarau.
Ada masa tunggu untun memetik sayuran yang disemprot pestisida. Menurut beberapa penelitian, masa tunggu antara waktu terakhir pemakaian pestisida dengan waktu panen sekitar 1-5 minggu tergantung dari jenis pestisida yang digunakan. Masa tunggu pada pestisida yang bersifat sistemik (terserap ke dalam bahan) lebih lama daripada pestisida nonsistemik (hanya menempel di permukaan). Pestisida yang sukar larut dalam air memiliki masa tunggu lebih lama dibandingkan pestisida yang mudah larut dalam air.
2. Pencucian Tidak Sempurna
Berbagai penelitian menunjukkan adanya beberapa zat kimia dalam pestisida yang tidak hilang akibat pencucian, apalagi kalau pencucian tidak dilakukan dengan teknik yang benar.
Air yang bersih adalah air yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, serta bebas dari kuman. Sumber air yang tidak bersih sering tercemar oleh berbagai kontaminan, terutama bakteri penyebab penyakit infeksi, seperti penyakit tipus oleh bakteri Salmonella typhi, disentri oleh Shigella dysentriae, kolera oleh Vibrio cholerae dan tuberkulosis oleh Mycobacterium. Untuk lebih amannya, cuci lalapan dengan air matang.
4. Kontaminasi Bakteri Berbahaya
Untuk meningkatkan kesuburan tanah sebagai media tempat tumbuh sayuran, petani sering menggunakan pupuk organik berupa humus atau kotoran ternak (bahkan kotoran manusia). Kebiasaan petani membuang hajat di tanah, ikut memperparah kemungkinan kontaminasi bakteri berbahaya ke sayuran, terutama sayuran yang menjalar di permukaan tanah atau yang ketinggiannya dekat dengan tanah. Contoh bakteri patogen yang berasal dari tinja adalah Eschericia coli yang dapat menimbulkan diare, Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi penyebab demam tifus.
5. Senyawa Racun Alami
Beberapa jenis bahan pangan, mengandung senyawa beracun alami, misalnya saponin pada kedelai, kacang tanah, bayam, dan asparagus; goitrogen pada kol dan lobak; asam sianida pada daun singkong, solanin pada kentang, dan lain-lain. Senyawa beracun tersebut hanya dapat dihilangkan melalui proses pencucian dan pemasakan dengan suhu yang tepat.
Tips
Untuk membuat lalapan matang, sayuran harus dimasak lebih dulu. Pemasakan sayuran untuk lalapan harus dilakukan sedemikian rupa agar teksturnya tidak hancur. Pemasakan sebaiknya dilakukan dengan teknik blansir, yaitu pelunakan bahan dengan cara pencelupan beberapa saat (sekitar 5 menit) pada suhu air mendidih, yang kemudian segera disiram dengan air dingin (matang) agar pemanasan tidak berlanjut. Cara ini sangat baik untuk pemasakan sawi, kubis, bayam, kacang panjang, wortel, pare dan labu siam.
Oleh karena waktu blansir sangat ditentukan oleh tekstur bahan segarnya. Blansir sebaiknya dilakukan untuk masing-masing sayuran, tidak dicampur satu sama lain. Sayuran sebaiknya diblansir dalam keadaan utuh dan pemotongan dilakukan setelah proses blansir selesai.
Mengkonsumsi sayuran matang lebih aman dibandingkan lalapan mentah. Walaupun demikian, kita tidak perlu terlalu khawatir bila akan mengkonsumsi sayuran mentah, sepanjang bahan tersebut dipersiapkan dengan cara yang higienis dan bebas kontaminan berbahaya. Sejauh ini belum pernah dilaporkan adanya kasus orang keracunan atau kematian, akibat mengkonsumsi sayuran mentah.
Untuk lebih memastikan keamanannya, sedapat mungkin kita memelihara sendiri tanaman sayuran di halaman rumah atau di dalam pot. Dengan demikian kita tahu persis bahwa bahan tersebut bebas dari pestisida dan kontaminasi bakteri berbahaya dari tinja manusia
0 comments
Post a Comment