Hingar-bingar pemilihan umum tahun 2024 sudah mulai dirasakan bahkan sejak akhir 2022. Politik identitas mendadak menjadi komoditas utama bagi media massa dalam berbagai macam pemberitaan terkait Pemilu 2024. Bukan hal baru, sejak Pemilu 2014 isu polarisasi keagamaan sudah mulai menghangat dan mencapai puncaknya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Di tahun yang sama, muncul gerakan masyarakat islam yang timbul akibat seorang public figure non-muslim yang dianggap menistakan agama islam yang juga menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu, bibit-bibit polarisasi dan politik identitas mulai menampakkan tunasnya.
Politik identitas secara singkat
didefinisikan sebagai politik yang memanfaatkan kesamaan identitas suku, agama,
dan ras menjadi sebuah keuntungan elektoral. Sialnya, identitas yang menjadi
isu paling berpengaruh di dalam perpolitikan Indonesia adalah Agama. Sebagai
negara dengan mayoritas penduduk beraga islam, tentu polarisasi agama dianggap
akan sangat menguntungkan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan adanya
pengkotakan ideologi dalam perpolitikan negara Demokrasi seperti Indonesia,
selama itu hanya sebatas adu gagasan dalam ruang-ruang publik dan tidak
memuculkan kekerasan dan radikalisme. Di negara manapun, adu ideologi adalah
hal yang lumrah. Di Negara tetangga, Malaysia misalnya, bahkan pengkotakan ras
sangat terlihat jelas dengan adanya partai-partai politik yang merujuk pada ras
tertentu.
Sayangnya, di Indonesia, adu-adu gagasan
dan ideologi terutama di luar ideologi bangsa menjadi hal yang tabu untuk
dilakukan, bahkan mereka yang berani memunculkan gagasan ideologi berbeda dalam
ruang publik bisa menjadi musuh negara dan menjadi pesakitan dengan cara
dipidanakan. Idealnya, di dalam sebuah negara demokrasi, diskursus gagasan dan
ide tidak layak untuk dibunuh dengan dalih melanggar hukum. Biarlah masyarakat
kita menjadi dewasa dengan memilih apa yang menurut mereka cocok bagi mereka.
Itu adalah proses pendewasaan masyarakat. Artinya kita tidak perlu khawatir
bahwa gagasan dan ide yang dianggap bertentangan dengan Pancasila akan semakin
besar jika masyarakat kita sudah paham akan jati dirinya sebagai bangsa
Indonesia. Jika kita yakin bahwa Ideologi Pancasila sudah mengakar dan mandarah
daging di dalam keseharian masyarakat Indonesia, maka kita tidak perlu takut
dengan pihak-pihak yang berusaha mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka perlu dipertanyakan bagaimana
proses penanaman nilai-nilai Pancasila selama ini dilakukan, apakah sudah dalam
jalur yang benar ataukah belum.
Pembubaran ormas-ormas berideologi khilafah
yang tertulis dalam Angaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) nya
seharusnya dipertegas dengan alasan yang lebih demokratis bagi sebuah negara
hukum— misalnya, “mereka memang memiliki ideologi di luar ideologi Pancasila
tetapi karena mereka menggunakan jalan kekerasan, artinya mereka
melanggar hukum, maka mereka layak untuk dibubarkan”. Sejarah sudah membuktikan
bahwa pemaksaan ideologi dengan jalan kekerasan tidak akan pernah berhasil.
DI/TII atau NII adalah buktinya. Yang kita perangi bukanlah Ide datau Gagasan,
tetapi kekerasan dan radikalisme karena keduanya adalah musuh utama demokrasi. Jadi
sekali lagi, dalam demokrasi, dikursus ideologi dan gagasan dalam ruang publik
bukanlah sesuatu yang harus dibunuh. Sebaliknya, biarlah itu menjadi warna dari
sebuah demokrasi dan menjadi proses pendewasaan politik bagi masyarakat.
Sistem demokrasi yang memberangus hak-hak
berpendapat justru akan semakin menunjukkan kemunduran demokrasi di suatu
negara, mungkin itu juga yang membuat nilai indeks demokrasi kita di 2023 masih
dalam kategori Partly Free menurut organisasi Freedom House dengan nilai
58/100 (https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2023). Biarlah
calon-calon pemimpin bangsa ini beradu gagasan di ruang publik tentunya dengan
menggunakan data dan fakta yang akurat, bukan hoaks apalagi fitnah. Jika kita
melihat kampanye-kampanye politik di negara demokratis lain seperti Amerika
Serikat misalnya, maka kita akan melihat bagaimana para calon saling
menjatuhkan dengan kalimat-kalimat yang bisa dibilang bagi kita ‘sangat kasar’
atau kita dan dunia mengistilahkannya dengan ‘Kampanye Negatif’. Ingat, bukan
‘Kampanye Hitam’ atau Black Campaign.
Polarisasi dan politik identitas memang sangat meresahkan apalagi jika sampai menimbulkan kerusuhan, akan tetapi jika kita melihatnya dari sudut pandang sistem demokrasi maka itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Toh, partai-partai politik kita sudah diframing menjadi beberapa golongan seperti Partai Islam dan Partai Nasionalis, meskipun kebanyakan partai selalu mencoba menjadi golongan tengah dengan menamakan dirinya sebagai partai Nasionalis Religius atau Religius Nasionalis. Kita memang dikenal dengan ideologi Pancasila yang dianggap sebagai ideologi tengah yang mengakomodir semua kepentingan golongan, bukan ideologi ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Akan tetapi, jangan juga kita menjadi bangsa yang dianggap memiliki ideologi Ekstrim Tengah.
0 comments
Post a Comment