Please leave a comment

Friday, March 30, 2012

ANALISIS PERMASALAHAN, EKSTERNALITAS, DAN RELOKASI PASAR TRADISIONAL: Studi Kasus Pasar Dinoyo Kota Malang


Pasar merupakan tempat aktivitas jual beli, dimana penjual menawarkan barang dagangan dan pembeli membeli barang tapi ternyata pasar juga merupakan salah satu ruang publik yang berfungsi sebagai perekat sosial dan proses distribusi informasi antara satu orang dan orang lainnya. Pasar yang dimaksud kan disini merupakan pasar tradisional memberikan kesempatan bagi sebagian masyarakat terutama dari golongan menengah kebawah memiliki ruang publik karena didalamnya terdapat interaksi sosial antara pedagang di pasar dan masyarakat sekitar sehingga menjadikan pasar sebagai ruang berbagi informasi bagi individu di dalamnya.
Pasar dinoyo merupakan salah satu pasar tradisional di Malang yang mempunyai keterkaitan sejarah dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Malang. Masyarakat yang tinggal di sekitar Dinoyo lebih memanfaatkan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga bisa dikatakan pasar dinoyo merupakan bagian penting minimal secara ekonomi bagi masyarakat dinoyo.
Banyak literatur menyatakan dalam pasar tradisional terdapat interaksi sosial beragam dari individu yang berkecimpung di dalamnya, baik dari masyarakat sekitar maupun dari pedagang pasar sendiri. Ikatan sosial yang terbangun dari intensitas pertemuan di pasar kemudian berubah menjadi struktur yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dinoyo. Praktik sosial di pasar dinoyo yang dilakukan berulang misalnya terdapat warga yang tiap harinya membeli sayur di pasar dinoyo dan memiliki wlijo langganan maka kemungkinan yang bisa terjadi individu tersebut selain ke pasar untuk memenuhi keperluan dapur juga untuk bertemu dengan pedagang langganan untuk berkomunikasi dan bertukar informasi.
Kondisi saat ini telah beredar wacana penggusuran pasar dinoyo dan akan digantikan sebuah atau mall. Permasalah disini adalah kalimat “modernisasi pasar yang membentuk pasar modern” dimana pasar dinoyo dianggap sangat kumuh dan tidak memiliki sisi estetika sama sekali, padahal sekali lagi pasar dinoyo merupakan ruang yang tidak hanya berfungsi sebagai penjual menjual barangnya dan pembeli membeli barang kebutuhan melainkan definisi sosial dari pasar merupakan interaksi sosial tiap individu di ruang publik. Sialnya, pihak pemerintah telah menjadi komprador kapitalisme sehingga melakukan perubahan pasar tanpa komtemplasi sosial, mengenai dampak sosial yang terjadi dengan adanya mall.
Dengan membaca analog kejadian tersebut sebenarnya bisa diartikan terdapat paksaan mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang pantas dan tidak pantas bagi masyarakat bahwa agresi keberadaan Pasar Modern atau mall lebih baik dari pada pasar tradisional dengan rasionalisasi mall telah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat.

Pasar Tradisional vs. Pasar Modern
Pasar tradisional di kota memang tidak sebanding nilai investasinya jika dibanding dengan pasar modern. Profit sharing antara investor dan pemerintah kota pada pasar modern akan menjanjikan devisa bagi pemerintah. Dalam skala perhitungan pertumbuhan ekonomi, kehadiran pasar modern seperti mall membawa peningkatan nilai tambah ekonomi secara riil bagi politik ekonomi lokal. Namun demikian, perpindahan itu telah menggerus aktifitas ekonomi masyarakat lokal.
Peruntungan pasar tradisional, jika dihitung dengan nalar investasi tidak sebanding dengan mall. Sehingga, kekuasaan politik setingkat Walikota, tidak bisa mengambil untung dari aktifitas pasar tradisional kecuali retribusi yang dihitung secara ekonomis begitu kecil dan tidak berdampak pada peningkatan devisa pemerintah daerah. Namun demikian, gerak pasar tradisional menyumbangkan kemerdekaan ekonomi rakyat dan keadilan akses atas aktifitas ekonomi warga. Kegiatan pasar tradisional mencerminkan hak-hak warga terakomodasi dan menjadi media pertumbuhan ekonomi yang merata. Pasar tradisional dengan demikian memberi efek ekonomi horisontal bersifat citizenship ketimbang kapitalistik.
Jadi pasar tradisional menjadi musuh kapitalisme. Hari ini, jejak-jejak permusuhan itu sudah berjalan dalam berbagai bentuk. Renovasi menuju pembentukan pasar modern merupakan babak baru perselingkuhan politik dengan kapitalisme yang menggerus sosialisme ekonomi pada pasar tradisional. Begitulah jejak kapitalisme dijangkarkan diantara titik tengkar warga.
Pasar tradisional adalah bisnis politik kekuasaan. Renovasi adalah media untuk mengambil alih hak dan kuasa kapitalisme atas hak-hak warga yang mayoritas pedagang-pedagang kecil. Siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan, tentu saja yang diuntungkan secara instan adalah orang-orang pemilik jasa yang berselingkuh bersama pemilik modal. Yang jelas, pemilik modal sudah menghitung untung. Yang dirugikan adalah nasib pedagang-pedagang di pasar tradisional tersebut. Mereka jelas tidak bisa dipaksa dengan instan untuk menyesuaikan dengan metode ekonomi yang termodernisasi.
Memang dalam perspektif ekonomi modern, pasar modern adalah salah satu piranti ataupun simbol pembangunan ekonomi, dimana tenaga kerja, pajak disemaikan secara intens pada pasar modern. Namun Kalau dianalisis dengan Teori Konflik borok-borok dari pasar modern akan dapat dihidangkan. Ini berpangkal dari pertanyaan, Siapa yang mengkonstruksi untuk apa Mengkonstruksi dan siapa yang Diuntungkan dalam siklus pasar modern. Bertitik tolak dari teori Konflik, Dahrendorf mendeskripsikan hanya ada dua golongan dalam analisis konflik, yaitu orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai. Kalau dihubungkan dengan pasar Modern, maka orang yang berkuasa adalah pemilik Modal (pedagang), sedangkan orang yang dikuasai adalah konsumen, pedagang dalam prakteknya adalah orang yang diutungkan dari proses permainan yang dioperasionalkan pada pasar modern.

Modernisasi Pasar
Jikalau yang diperlukan modernisasi pasar tradisional, tidak seharusnya renovasi pasar Dinoyo digeser menjadi pasar modern sejenis mall. Ketika modernisasi menggunakan paradigma mall, niscaya akan memunculkan friksi kebudayaan karena sistem kerja dan dinamika ekonomi pasar tradisional memiliki kualitas yang berbeda dengan sistem ekonomi yang berkembang pada pasar-pasar modern berbasis mall. Friksi ini akhirnya mengeras menjadi konflik antarwarga dengan pemerintah karena perspektif pengembangan pasar tradisional hanya didikte melalui paham kapitalisme.
Jika yang diperlukan adalah modernisasi pasar tradisional, maka yang dibutuhkan adalah reorganisasi dan pembaruan tata-kelola pasar tradisional yang mengedepankan partisipasi pelaku pasar tradisional secara maksimal. Dengan demikian modernisasi merupakan proses mendorong perubahan sosial ekonomi warga, memberdayakan mereka dan memberikan para pedagang pasar ini untuk menentukan transformasi modernisasi pasar berdasarkan kekuatan imajinasi dan menginternalisasi pembentukan kebudayaan pada setiap aktifitas perubahan pasar.
Pendekatan ini meniscayakan sebuah praktik kebudayaan dalam mengembangkan pasar tradisional di wilayah perkotaan menuju pergeseran paradigma tata-kelola pasar tradisional agar lebih maju, meningkatkan produktifitas, dan menjawab kebutuhan warga untuk ikut serta berpartisipasi dalam memajukan ekonomi bangsa.
Modernisasi pasar, tidak berarti mall. Modernisasi adalah pergeseran dan perubahan perilaku karena ingin meningkatkan kualitas kehidupan. Jika pasar tradisional adalah bagian dari kehidupan ekonomi, maka perspektif kehidupan menjadi modus bagi pembangunan pasar tradisional. Suatu contoh, jika sanitasi pasar tradisional sudah buruk, secara kesehatan akan mengancam fungsi hidup ekosistem bumi dan manusia, maka di situlah yang diperbarui sanitasinya sembari memberikan penyadaran lingkungan kepada pedagang pasar. Jika kebersihan menjadi bagian dari proses kesehatan pasar, maka aspek pedagangnya yang dimodifikasi perilakunya untuk mampu menjadi kendali lingkungan sehat di pasar. Modernisasi dengan demikian tidak harus memindah pelaku, tetapi menstransformasi tata kelola dan kehidupan pasar agar meningkat kualitasnya.

Eksternalitas Kehadiran Pasar Tradisional Dinoyo
     Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan (positif) maupun yang merugikan (negatif).
Adanya pasar tradisional dinoyo yang sekarang  tentunya juga menimbulkan eksternalitas, baik yang negatif, maupun yang positif. Eksternalitas negatif diantaranya: bau yang tidak sedap dan lingkungan yang menjadi kumuh. Tidak bisa dipungkiri, pasar tradisional di Indonesia kebanyakan terkenal dengan kesan kumuh. Begitu juga yang terjadi pada pasar dinoyo kota malang. Bau yang tidak sedap yang dikeluarkan dari pasar mempengaruhi kegiatan lain di sekitar pasar seperti halnya Rumah Sakit UNISMA yang berada di sekitar kawasan pasar dinoyo. Dengan kondisi seperti itu, tentu RS. UNISMA harus mengeluarkan dana lebih demi untuk kenyamanan orang-orang di rumah sakit seperti pasien-pasien maupun pengunjungnya.
Selain RS. UNISMA, eksternalitas negative lain juga dirasakan pedagang lain diluar pasar, terutama para pemilik warung makan. Yang tentunya mungkin pelanggan dari warung makan akan merasa terganggu dengan bau tak sedap yang berasal dari pasar.
Selanjutnya adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada lambatnya distribusi barang-barang dari produsen-produsen lain yang diangkut dengan mobil-mobil yang melewati kawasan pasar dinoyo, disamping itu juga pemborosan bahan bakar karena macet akan menambah biaya transportasi atas pengiriman barang-barang tersebut.
Namun disamping eksternalitas negatif, juga terdapat eksternalitas positif. Salah satunya dirasakan oleh para pedagang di sekitar kawasan pasar dinoyo. Dengan adanya pasar tersebut, maka semakin banyak orang yang berlalu-lalang di kawasan sekitar pasar, dan menjadikan kawasan tersebut menjadi salah satu kawasan pusat perdagangan. Selain itu, konsumen juga dapat memilih barang-barang kebutuhan dengan banyak pilihan dan harga yang bisa ditawar.
Relokasi Pasar Dinoyo di Merjosari
Pemerintah Kota/Kabupaten merelokasikan pasar tradisional dengan beberapa alasan. Alasan yang paling utama adalah untuk pembangunan yaitu demi terciptanya tata kota yang rapi dan indah. Namun perelokasian tersebut sudah pasti menuai pro dan kontra dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apalagi banyak dampak yang bisa ditimbulkan dari dan selama proses relokasi tersebut. Dampak yang dirasakan bisa berupa dampak positif dan juga dampak negatif. Hal yang biasa terlihat dalam proses relokasi  pasar tradisional adalah terjadinya konflik antara para pedagang dengan aparat yang merelokasi. Kebanyakan dari masyarakat tersebut masih berpikiran sempit dan tertutup makanya mereka sangat sulit untuk bisa menerima perubahan.
Pasar-pasar tradisional seringkali dianggap mengganggu ketertiban dan juga tata ruang kota. Maka dari itu pemerintah merelokasikan pasar tradisional untuk mendukung pembangunan dalam tingkat kota atau kabupaten. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.
Begitupun dengan Pasar Dinoyo, rencana relokasi pasar karena dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, juga menemui hambatan dan penolakan, baik dari para pedagang di pasar dinoyo maupun warga kelurahan merjosari. Para pedagang menolak karena mereka diharuskan kembali membayar untuk sewa kios, selain itu juga karena sempitnya lokasi juga menjadi alasan bagi para pedagang untuk pindah. Sementara itu, warga merjosari juga menolak, salah satu alasannya karena nantinya dikhawatirkan akan terjadi kemacetan karena jalan di daerah merjosari sempit.
Namun relokasi juga secara tidak langsung akan menguntungkan bagi para supir angkutan umum khususnya untuk trayek GML/HML (terminal HM. Rusdi/Gadang ke Terminal Landungsari). Selama ini, untuk angkot GML/HML relative sepi penumpang. Oleh karena itu, ketika pasar tradisional berada di merjosari maka akan semakin memperbanyak penumpang yang menaiki angkot GML/HML, karena satu-satunya angkot yang lewat depan pasar tersebut hanya GML/HML

0 comments

Post a Comment